Risk Assessment Aflatoksin pada 10 Kecap Produksi Nasional; Studi Keamanan Pangan di Indonesia

Rahmawati1, Fatma Zuhrotun Nisa2, Elza Ismail3

ABSTRAK

Latar Belakang: Kedelai sudah terkenal keunggulannya di masyarakat. Kecap yang berbahan baku kedelai hitam juga sudah menjadi bumbu yang selalu dikonsumsi masyarakat. Survei Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPB-LIPI) pada tahun 1998 mengungkapkan 35 persen kecap di Pulau Jawa mengandung zat aflatoksin. Toksisitas aflatoksin dapat mengakibatkan kanker, penghambatan imunitas, dan berbagai gangguan gizi. Oleh karena itu, risk assessment pada produk kecap perlu dilakukan untuk menjadi dasar dalam penetapan food standard pada peraturan perundangan pangan Indonesia.

Tujuan Penelitian: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui estimasi risiko dari konsumsi aflatoksin pada 10 kecap produksi nasional dengan melakukan risk assessment aflatoksin.

Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat eksploratif dengan menggunakan pendekatan deskriptif. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari s.d. Desember 2007. Penelitian ini dilakukan dengan empat tahap yaitu identifikasi bahaya, karakterisasi bahaya, pengujian paparan dan terakhir karakterisasi resiko. Data untuk penelitian ini diperoleh dari beberapa sumber yaitu 10 kecap produksi nasional sebagai sampel, data konsumsi kecap dari BPS dan dari jurnal hasil penelitian dalam dan luar negeri.

Hasil: Bahaya aflatoksin terdiri dari akut dan subkronik letal; Bahaya akut meliputi sirosis hati dan kematian, sedangkan bahaya subkronik letal meliputi kanker, peningkatan toksisitas pada HBV positif, penghambatan imunitas, dan berbagai gangguan gizi. Respon dosis aflatoksin antara lain: bahaya akut terjadi apabila terpapar aflatoksin dosis tinggi (minimal 1 ppm); bahaya kronik kanker terjadi apabila terpapar aflatoksin dengan dosis berapa pun; peningkatan toksisitas pada HBV positif tidak diketahui dosis spesifiknya; penghambatan imunitas dan berbagai gangguan gizi pada manusia terjadi apabila paparan aflatoksin dengan dosis rendah (minimal 0,2 ppm). Paparan pada tubuh akibat mengkonsumsi kecap produksi nasional adalah < 0,2 ppm. Risiko toksisitas akut konsumen kecap produksi nasional adalah rendah, sedangkan risiko subkronik letalnya adalah sedang. Penderita HBV dan HCV dianjurkan untuk tidak mengkonsumsi kecap.

Kesimpulan: Sepuluh kecap produksi nasional dinyatakan berisiko rendah untuk efek toksisitas akut dan berisiko sedang untuk efek subkronik letal, namun masih dalam batas aman untuk dikonsumsi.

Kata kunci: Risk assessment, kecap dan aflatoksin.

———————————–
1 dan 2 Program Studi Gizi Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, yogyakarta.
3 Bagian Gizi Politeknik Kesehatan Yogyakarta.

LATAR BELAKANG

Kedelai sudah terkenal keunggulannya di masyarakat. Kandungan protein nabatinya yang tinggi diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan dan pemeliharaan sel1. Ketersediaan kedelai lokal cukup tinggi dan harga kedelai pun terjangkau, sehingga kedelai cukup mudah didapatkan di pasaran. Produk pangan olahan kedelai seperti tahu, tempe, kecap, susu kedelai, tauco dan snack kedelai juga sudah banyak beredar.

Iklim Indonesia yang tropis-basah, ternyata memberi peluang besar tumbuhnya berbagai jenis kapang pada komoditi pertanian2, termasuk pada kedelai ini. Survei Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPB-LIPI) pada tahun 1998 mengungkapkan 35 persen kecap di Pulau Jawa mengandung zat aflatoksin3.

Aflatoksin merupakan zat racun pemicu kanker yang dihasilkan jamur Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus4. Lebih lanjut aflatoksin dosis tinggi bersifat akumulatif sehingga berpotensi menyebabkan kanker hati. Penelitian terbaru oleh Williams et al. 5 bahkan menunjukkan bahwa aflatoksin tidak hanya bersifat karsinogenik tetapi juga immunologic suppression dan nutritional interference. Disamping itu, aflatoksikosis akut berlangsung mematikan karena diketahui menyerang hepar dan empedu secara langsung. Hal ini dapat terjadi terutama pada anak-anak.

Namun ternyata, sistem regulasi pangan termasuk pengendalian aflatoksin di Indonesia masih belum memadai6. Berdasarkan pertemuan antara FAO, WHO dan CAC (1995-2000), diputuskan bahwa untuk standar keamanan pangan, perlu dilakukan risk analysis yang mencakup tiga komponen, yaitu: risk assessment, risk management, dan risk communication7. Oleh karena itu, risk assessment pada produk kecap perlu dilakukan untuk menjadi dasar dalam penetapan food standard pada peraturan perundangan pangan Indonesia sehingga dapat melindungi tubuh masyarakat Indonesia dari bahaya kontaminasi aflatoksin.


TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui estimasi risiko dari konsumsi aflatoksin pada 10 kecap produksi nasional dengan melakukan risk assessment aflatoksin. Secara khusus, tujuannya adalah mengetahui bahaya aflatoksin dengan melakukan identifikasi bahaya (hazard identification) aflatoksin, mengetahui respon dosis aflatoksin dengan melakukan karakterisasi bahaya (hazard characterization) aflatoksi, mengetahui paparan aflatoksin pada tubuh akibat mengkonsumsi kecap nasional melakukan pengukuran paparan (exposure assessment) aflatoksin pada 10 kecap produksi nasional, dan mengetahui risiko (health effect) konsumsi aflatoksin pada kecap nasional dengan melakukan karakterisasi risiko (risk characterization) aflatoksin pada 10 kecap produksi nasional.


MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan dapat membuka cakrawala peneliti mengenai food safety umumnya, dan risk assessment aflatoksin pada kecap khususnya, turut mengangkat Universitas Gadjah Mada sebagai research university, memberikan informasi mengenai risk assessment aflatoksin pada 10 kecap produksi nasional sehingga dapat dipergunakan sebagai penelitian pendahuluan untuk risk assessment aflatoksin pada kecap di Indonesia, bertindak sebagai stimulan kepada pemerintah dalam membuat food standard pada sistem regulasi pangan di Indonesia. Bagi produsen makanan, dapat menggugah agar melakukan produksi makanan dengan baik, dan melakukan evaluasi dengan quality control. Secara tidak langsung, penelitian ini diharapkan pula dapat mendukung peningkatan ketahanan pangan dalam negeri melalui usulan penerapan sistem regulasi pangan di Indonesia.


METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat eksploratif dengan menggunakan pendekatan deskriptif. Penelitian dilakukan di Indonesia dengan mengambil data dari 10 perusahaan kecap produksi nasional, BPOM, dan BPS pada bulan Februari sampai dengan Desember 2007. Uji Aflatoksin dilakukan di Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT) UGM pada bulan November 2007. Sampel penelitian adalah 10 produk kecap yang dipilih dengan cara purposive sampling, dengan kriteria: berasal dari perusahaan kecap yang berada di Indonesia, terdaftar di Balai POM, dan memiliki daerah pemasaran di seluruh wilayah Indonesia.

Pertama, peneliti melakukan analisis kandungan aflatoksin pada sampel dengan metode Thin Layer Chromatography (TLC), kemudian melakukan kunjungan ke BPS Propinsi DIY untuk mendapatkan data konsumsi kecap rata-rata masyarakat Indonesia per hari, melakukan pengumpulan data dan melakukan pengolahan serta analisis data, dan melakukan penelusuran jurnal hasil penelitian tentang pengaruh Aflatoksin bagi kesehatan dari dalam dan luar negeri. Setelah itu, risk assessment pun dilakukan. Tahapan yang dilaksanakan dalam melakukan risk assessment adalah: identifikasi bahaya (hazard identification), karakterisasi bahaya (hazard characterisation), pengukuran paparan (exposure assessment), dan karakterisasi risiko (risk characterization)7,8.


HASIL

1. Karakteristik Sampel

Sampel berjumlah 10 buah, dengan karakteristik yang sama, yaitu: terdaftar di Balai POM, memiliki wilayah distribusi yang luas di Indonesia, memiliki pabrik yang besar, dan memiliki sistem manajemen yang baik.

2. Identifikasi Bahaya

Tabel 1. Identifikasi Bahaya Aflatoksin

No

Jenis paparan

Bahaya

1

Akut

1. Penyakit-penyakit akut, seperti sirosis hati

2. Kematian, melalui haemorrhagic necrosis pada hati, proliferasi pada saluran empedu, edema, lethargy

2

Subkronik letal

1. Kanker, terutama kanker hati

2. Peningkatan toksisitas pada HBV positif.

3. Penghambatan Imunitas

a. induksi thymic aplasia

b. Penurunan jumlah dan fungsi limfosit T

c. Penekanan aktivitas fagosit pada monosit

d. Penurunan aktivitas sel splenic CD4 dan produksi IL-2

e. Penghambatan sitolisis sel NK

f. Penurunan aktivitas komplemen serum HD

g. Penurunan respon antibodi terhadap vaksin

h. Penghambatan fungsi imun humoral dan seluler

i. Penurunan produksi IgA

j. Meningkatkan respon mitogenik SMNCs

k. Toksisitas ditransfer kepada fetus dan merusak fetus

4. Gangguan gizi

a. Peningkatan percepatan terjadinya ikatan kovalen aflatoksin-DNA dan penurunan sintesis protein

b. Penurunan laju pertumbuhan, KEP

c. Penurunan status vitamin A

d. Penurunan status vitamin D

e. Penurunan konsentrasi zink dalam serum

f. Penurunan konsentrasi selenium dalam plasma

3. Karakterisasi Bahaya

Tabel 2. Karakterisasi Bahaya Aflatoksin

No

Jenis paparan

Bahaya

Penelitian pada hewan

Penelitian pada manusia

Epidemiologi

1

Akut

1. Penyakit-penyakit akut, seperti sirosis hati 5, 9

1000 ppb (1 ppm) 4

Insidensi di Asia dan Afrika 20-28/100.000 orang

2. Kematian, melalui haemorrhagic necrosis pada hati, proliferasi pada saluran empedu, edema, lethargy5

1. kelinci dan bebek: 0,3 mg/kg (0,3 ppm)5

2. Ayam dan tikus: 18 mg/kg5

1. ≈25% sebagai penyebab kematian dunia4

2. Umumnya terjadi pada anak-anak10

3. Biasanya terjadi di negara berkembang11

2

Subkronik letal

1. Kanker, terutama kanker hati

1. Dosis tinggi (1.000 ppb)4

2. Tetapi tetap berisiko pada dosis berapa pun5

Insidensi kanker hati 5% dari kanker dunia.

2. Peningkatan toksisitas pada HBV positif.

1. ≈30 kali lebih potensial pada HBV positif12

2. Meningkatkan risiko relatif kanker pada HBV positif dari ≈5 menjadi ≈6013

Tabel 2. Karakterisasi Bahaya Aflatoksin (lanjutan)

No

Jenis paparan

Bahaya

Penelitian pada hewan

Penelitian pada manusia

Epidemiologi

2

Subkronik letal (lanjutan)

3. Penghambat-an Imunitas

a. induksi thymic aplasia5

b. Penurunan jumlah dan fungsi limfosit T5

c. Penekanan aktivitas fagosit pada monosit5

1. AFB1 ≥100 pg/ml bersifat sitotoksik

2. AFB1 0,5-1 pg/ml menghambat fagositik

d. Penurunan aktivitas sel splenic CD4 dan produksi IL-25

Tikus: 0,75 mg/kg (0,75 ppm)

e. Pengham-batan sitolisis sel NK5

Tikus: 0,03-0,07 mg/kg (0,03-0,07 ppm)14

f. Penurunan aktivitas komplemen serum HD5

Babi: 500 ppm

g. Penurunan respon antibodi terhadap vaksin5

Unggas: 200 ppb (0,2 ppm)

h. Pengham-batan fungsi imun humoral dan seluler5

Piglet: 140 dan 280 ppb (0,14 ppm dan 0,28 ppm)15

Ghana: kelompok subjek dengan ikatan aflatoksin-albumin di atas median (0,80 pmol/mg) mengalami kasus ini dibandingkan di bawah median.


Tabel 2. Karakterisasi Bahaya Aflatoksin (lanjutan)

No

Jenis paparan

Bahaya

Penelitian pada hewan

Penelitian pada manusia

Epidemiologi

2

Subkronik letal (lanjutan)

i. Penurunan produksi IgA5

Gambia: kelompok subjek anak-anak yang terdeteksi memiliki ikatan aflatoksin-albumin (mean = 22,3 pg/mg) mengalami kasus ini dibandingkan dengan subjek yang tidak terdeteksi.

j. Meningkatkan respon mitogenik SMNCs16

Tikus: 40 ppb

k. Toksisitas ditransfer kepada fetus dan merusak fetus5

Embrio ayam: 0,1 mg/kg (0,1 ppm)

4. Gangguan gizi

a. Peningkatan percepatan terjadinya ikatan kovalen aflatoksin-DNA dan penurunan sintesis protein

Apabila paparan ≤5 hari5

b. Penurunan laju pertumbuh-an15, KEP9

Piglet: 140 dan 280 ppb15

Paparan selama 5 hari s.d. 4 minggu16

c. Penurunan status vitamin A

1. Hati dan perut ruminal unta: 18,2 dan 243,4 μg/kg5

2. Ayam broiler: 500 dan 2.000 ppb (0,5 dan 2 ppm17


Tabel 2. Karakterisasi Bahaya Aflatoksin (lanjutan)

No

Jenis paparan

Bahaya

Penelitian pada hewan

Penelitian pada manusia

Epidemiologi

2

Subkronik letal (lanjutan)

d. Penurun-an status vitamin D

Ayam broiler: 1 ppm selama 5 hari

e. Penurun-an kon-sentrasi zink dalam serum

Babi: aflatoksin menurunkan zink serum menjadi setengahnya18

f.Penurunan konsentra- si seleni-um dalam plasma

Pada pria, dengan mean konsentrasi aflatoksin-albumin 20,95 fmol/mg, konsentrasi selenium plasma 108 ± 32,4 μg/L (berkebalikan)5



Biomarker

Metode yang umum digunakan saat ini dalam mengukur paparan aflatoksin pada manusia adalah analisis cairan tubuh yang mengandung derivat aflatoksin19, 20.

Tabel 5. Kumpulan Data Biomarker Pemaparan Aflatoksin

terhadap Manusia

Negara

Tingkat pemaparan %

Jangkauan atau tipe tes

Referensi

Benin

99

5-106 pg/mg

Gong et al. 21

Cina (Prop. Guangxi)

89

0.9-356 pg/24-h urine

Wang et al. 22

Gambia

95

0-270 pg/mg

Allen et al. 23

Guinea

90

0-385 pg/mg

Diallo et al. 24

Nigeria

40-90

Otopsi paru-paru

Oyelami et al. 25

Sierra Leone

95-99

Aflatoksin pada urine

Jonsyn-Ellis26

Sudan, Zimbabwe, Ghana, Liberia, Kenya, Transkei

32

99

Aflatoksin pada urine

Biopsi hati penderita kwashiorkor

Hendrickse et al. 27

Thailand

93

44

Liver DNA dan AFB1

AFM1 dalam ASI

Hollstein et al. 28

El Nezami et al. 29

4. Pengukuran Paparan

Konsumsi rata-rata dalam sehari penduduk Indonesia adalah 20 ml kecap (BPS, 2005). Kandungan aflatoksin pada seluruh sampel adalah <1,509 ppb. Batas deteksi aflatoksin B1 = 1,509 ppb.

5. Karakterisasi Risiko

Tabel 4. Karakterisasi Risiko Aflatoksin

Bahaya

Keparahan bahaya

Kemungkinan terjadinya bahaya

Paparan pada kecap

Hubungan dengan Epidemiologi

Risiko

Kematian

Tinggi

0 %

<1,509 ppb

Rendah

Rendah

Sirosis hati

Tinggi

0 %

<1,509 ppb

Rendah

Rendah

Kanker

Tinggi

0 %

<1,509 ppb

Rendah

Sedang

Lebih toksis pada HBV positif

Tinggi

0 %

<1,509 ppb

Dosis tidak diketahui

Rendah

Penghambatan imunitas

Sedang

0 %

<1,509 ppb

Sedang

Sedang

Gangguan gizi

Sedang

0 %

<1,509 ppb

Sedang

Sedang

PEMBAHASAN

Sampel berjumlah 10 buah, dan dipilih secara purposive sampling. Sampel memiliki karakteristik yang sama, yaitu: terdaftar di Balai POM, memiliki wilayah distribusi yang luas di Indonesia sehingga dikenal secara luas oleh masyarakat, memiliki pabrik yang besar, dan memiliki sistem manajemen yang baik. Tujuan memilih sampel-sampel tersebut adalah agar sampel yang berkarakteristik nasional dapat sejalan dengan perhitungan risiko epidemiologi dan kebudayaan (konsumsi kecap harian masyarakat) secara luas. Data-data tersebut saling terkait sehingga perhitungan risk assessment yang dilakukan berikut dapat diterapkan secara nasional.

Ada empat kriteria dalam merumuskan risiko pada tahap karakterisasi risiko ini: keparahan bahaya, kemungkinan terjadinya bahaya, paparan pada kecap, dan hubungan dengan epidemiologi. Penilaian risiko merupakan kesimpulan dari keempat kriteria tersebut8.

Seluruh “bahaya” dinilai 0% untuk kriteria “kemungkinan terjadinya bahaya”, karena dari 10 sampel, tidak ada satu pun yang terdeteksi mengandung aflatoksin atau seluruhnya mengandung aflatoksin yang kadarnya kurang dari 1,509 ppb. Demikian pula pada kriteria “paparan pada kecap” seluruh bahaya bernilai sama, yaitu <1,509 ppb. Nilai hasil dari kriteria “hubungan dengan epidemiologi” diekstrak dari hubungan antara paparan dalam tubuh akibat mengkonsumsi kecap dengan kejadian epidemiologi seperti tertera pada tahapan karakteriasi bahaya (tabel 2). Paparan dalam tubuh adalah jumlah toksin pada kecap x jumlah konsumsi rata-rata kecap sehari, yaitu: <1,509 ppb x 140 ml, sehingga menghasilkan angka < 211,26 ppb atau <0,2 ppm. Angka 1,509 ppb diambil sebagai nilai paparan paling besar pada kecap. Angka < 0,2 ppm untuk paparan aflatoksin pada tubuh manusia dinilai masih di bawah standar yang ditetapkan pemerintah Indonesia (50 ppm). Akan tetapi, angka ini akan dikombinasikan dengan berbagai literatur karakterisasi bahaya sehingga pada bagian akhir dapat disimpulkan risiko dari konsumsi kecap ini.

Untuk bahaya kematian, tingkat keparahannya tergolong tinggi. Hubungan paparan aflatoksin pada tubuh manusia (< 0,2 ppm) dengan epidemiologi kematian dinilai rendah. Meskipun pada paparan 0,3 ppm pada kelinci dan bebek mengakibatkan letal, tetapi butuh dosis yang jauh lebih tinggi untuk menghasilkan efek yang sama pada ayam dan tikus5. Hal ini disebabkan karena kelinci dan bebek merupakan hewan yang tergolong rentan terhadap aflatoksikosis, sementara ayam dan tikus lebih bersifat toleran. Manusia tergolong lebih toleran terhadap aflatoksin5, sehingga dosis < 0,2 ppm tidak dapat mengakibatkan kematian. Maka secara keseluruhan, risiko kematian pada kecap dinilai rendah.

Untuk bahaya sirosis hati, tingkat keparahannya tergolong tinggi karena dapat menyebabkan hepatocellular carcinoma, dan sirosis hati juga mengarah kepada status gizi kurang dan buruk pada anak-anak. Hubungan paparan aflatoksin pada tubuh manusia dengan epidemiologi sirosis hati termasuk rendah, sebab sirosis hati memerlukan dosis aflatoksikosis yang tinggi (1 ppm)4, sementara paparan pada masyarakat (apabila mengkonsumsi kecap sampel, yaitu < 0,2 ppm) masih cukup jauh dari jumlah tersebut. Maka secara keseluruhan, risiko sirosis hati pada kecap dinilai rendah.

Untuk bahaya kanker hati, tingkat keparahannya tergolong tinggi karena dapat menyebabkan kematian. Hubungan paparan aflatoksin pada tubuh manusia dengan epidemiologi kanker dinilai sedang. Kanker juga memerlukan dosis aflatoksikosis yang tinggi (1 ppm)4, sementara paparan pada masyarakat (apabila mengkonsumsi kecap sampel, yaitu < 0,2 ppm) masih cukup jauh dari jumlah tersebut. Akan tetapi, baik dosis tinggi maupun dosis rendah, aflatoksikosis tetap berefek akumulasi sehingga tetap berpotensi menyebabkan kanker5. Maka secara keseluruhan, risiko kanker pada kecap dinilai sedang.

Untuk bahaya peningkatan potensial toksis pada penderita HBV positif, tingkat keparahannya tergolong tinggi karena dapat mengarah pada penyakit liver kronis dan risiko relatif kanker hati meningkat (dari ≈5 menjadi ≈60)5. Hubungan paparan aflatoksin pada tubuh manusia dengan epidemiologi peningkatan potensial toksis pada penderita HBV positif tidak dapat dinilai sebab tidak ditemukan literatur mengenai batas ambang aflatoksikosis yang menyebabkan bahaya ini. Akan tetapi, risiko peningkatan potensial toksis pada penderita HBV positif pada kecap tetap perlu mendapat perhatian, dan untuk itu risiko ini dinilai rendah.

Untuk bahaya penghambatan imunitas, tingkat keparahannya tergolong sedang karena dapat menyebabkan kerentanan atau meningkatkan risiko terhadap berbagai penyakit infeksi. Hubungan paparan aflatoksin pada tubuh manusia (< 0,2 ppm) dengan epidemiologi penghambatan imunitas dinilai sedang. Hal ini didukung dengan data penelitian pada hewan yang menyebutkan bahwa pada dosis < 0,2 ppm, unggas mengalami penurunan respon terhadap vaksin5, dan anak babi mengalami penurunan fungsi imun humoral dan seluler pada dosis 0,28 ppm15. Nilai terdekat lain yang juga dapat dibandingkan adalah dosis 0,1 ppm aflatoksin dapat diturunkan dan menyebabkan kerusakan fetus pada ayam. Walaupun informasi ini lebih banyak dilakukan pada hewan (sebab pada manusia terlihat lebih banyak variabelnya daripada hewan coba), dan dalam generalisasi data hewan kepada manusia terlihat suatu ketidaktetapan (uncertainty), tetapi beberapa naskah publikasi menunjukkan bahwa respon-respon hewan ini relevan untuk manusia5. Maka secara keseluruhan, risiko penghambatan imunitas pada kecap dinilai sedang.

Untuk bahaya gangguan gizi, tingkat keparahannya tergolong sedang karena dapat menyebabkan kerentanan atau meningkatkan risiko terhadap berbagai penyakit infeksi dan degeneratif, serta dapat mengarah kepada status gizi buruk pada anak-anak. Hubungan paparan aflatoksin pada tubuh manusia (< 0,2 ppm) dengan epidemiologi gangguan gizi juga dinilai sedang. Walaupun dikatakan imunotoksisitas ambang batas dari efek-efek gangguan gizi tidak terdefinisi untuk spesies manapun5, tetapi sebagai referensi, dapat dilihat data ambang pada penelitian pada hewan sebagai berikut: laju pertumbuhan anak babi mengalami penurunan pada dosis 0,28 ppm aflatoksin15, dan hal ini juga berlaku pada manusia5. Data lain menyebutkan bahwa konsentrasi aflatoksin pada perut ruminal unta adalah 0,243 ppm menyebabkan penurunan konsentrasi serum retinol5. Maka secara keseluruhan, risiko penghambatan imunitas pada kecap dinilai sedang.

Dari keempat penilaian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat Indonesia tidak berisiko terkena efek toksisitas akut, tetapi berisiko terkena efek subkronik letal (konsekuensi jangka panjang), seperti penghambatan imunitas, gangguan gizi, dan kanker, sebab paparan berbagai jenis aflatoksin berakumulasi seumur hidup (the cumulative lifetime dose). Untuk meminimalisir risiko kanker terutama kanker hati, orang dengan HBV dan HCV dianjurkan untuk tidak mengkonsumsi kecap, sebab HBV positif dapat menurunkan kemampuan seseorang dalam detoksifikasi aflatoksin, dan meningkatkan risiko relatif terserang kanker hati. 10 kecap produksi nasional dinyatakan masih dalam batas aman untuk dikonsumsi.


KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Bahaya aflatoksin terdiri dari akut dan subkronik letal; Bahaya akut meliputi sirosis hati dan kematian, sedangkan bahaya subkronik letal meliputi kanker, peningkatan toksisitas pada HBV positif, penghambatan imunitas, dan berbagai gangguan gizi. Respon dosis aflatoksin antara lain: bahaya akut terjadi apabila terpapar aflatoksin dosis tinggi (minimal 1 ppm); bahaya kronik kanker terjadi apabila terpapar aflatoksin dengan dosis berapa pun; peningkatan toksisitas pada HBV positif tidak diketahui dosis spesifiknya; penghambatan imunitas dan berbagai gangguan gizi pada manusia terjadi apabila paparan aflatoksin dengan dosis rendah (minimal 0,2 ppm). Paparan pada tubuh akibat mengkonsumsi kecap produksi nasional adalah < 0,2 ppm.

Risiko toksisitas akut konsumen kecap produksi nasional adalah rendah, sedangkan risiko subkronik letalnya adalah sedang. Penderita HBV dan HCV dianjurkan untuk tidak mengkonsumsi kecap. Sepuluh kecap produksi nasional dinyatakan masih dalam batas aman untuk dikonsumsi.


Saran

Di masa yang akan datang, peneliti menyarankan adanya pertama, penelitian lanjutan mengenai risk assessment aflatoksin pada kecap dengan menggunakan sampel yang lebih luas (meliputi kecap nasional dan lokal, modern dan tradisional) sehingga dapat dijadikan panduan bagi produsen kecap Indonesia dalam memproduksi kecap yang aman bagi masyarakat. Kedua, perlunya penelitian risk assessment aflatoksin pada kecap secara khusus pada daerah yang diketahui mengkonsumsi kecap tradisional (home industry) dalam jumlah yang cukup besar secara kontinu. Ketiga, perlunya penyusunan risk assessment untuk seluruh bahaya, meliputi bahaya biologis maupun bahaya kimia sehingga dapat diangkat sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan regulasi nasional dalam melindungi kesehatan masyarakat Indonesia.

KEPUSTAKAAN

  1. Almatsier, S., 2002, Prinsip Dasar Ilmu Gizi, PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta.
  2. Winarno, F.G., 1997, Naskah Akademis Keamanan Pangan, FTDC-IPB, Bogor.
  3. Imy, 2006, Kecap Bebas Kanker, Harian Republika, edisi 2 Februari 2006. http://www.republika.co.id.
  4. Ginting, E., Rahmianna, A.A. dan Yusnawan, E. 2005. Pengendalian Kontaminasi Aflatoksin pada Produk Olahan Kacang Tanah melalui Penanganan Pra dan Pasca Panen, http://www.bptp-jatim-deptan.go.id
  5. Williams, J.H., Phillips, T.D., Jolly, P.E., Stiles, J.K., Jolly, C.M., Anggarwal, D., 2004, Human Aflatoxicosis in Developiong Countries: A Review of Toxicology, Exposure, Potential Health Consequences, and Interventions, Am. J. Clin. Nutr., 80:1106-22.
  6. Winarno, F.G., Chang, N., Chiu, C.P., Howden, J., Leung, S.F., Rabuco, L., Sakamoto, M., Tee, E.S., Tontisirin, K., Wahlqvist, M.L., 1995, Food Law in Asia: Current Status and Future Directions, FTDC-IPB, Bogor.
  7. Brown, M. dan Mike, S., 2002, Microbiological Risk Assessment in Food Processing, Woodhead Publishing Limited, Cambridge England.
  8. Fisheries Department FAO, 2006, Application of Risk Assessment in The Fish Industry, http://www.fao.org
  9. Amla, I., Kamala, Gopala, K., Jayaraj, A.P., Sreenivasamurthy V., dan Parpia, H.A.B., 1971, Cirrhosis in Children from Peanut Meal Contaminated by Aflatoxin, American Journal of Clinical Nutrition, 24:606-614.
  10. Cullen, J.M., dan Newberne, P.M., 1993, Acute Hepatotoxicity of Aflatoxin, dalam Eaton et al, The Toxicology of Aflatoxins: Human Health, Veterinary, and agricultural significance, Academic Press, London.
  11. Shank, R.C., 1977, Epidemiology of Aflatoxin Carcinogenesis dalam Kraybill et al, Enviromental Cancer, Wiley, New York.
  12. Henry, S.H., Bosch, F.X., Bowers, J.C., 2002., Aflatoxin, Hepatitis, and Worlwide Liver Cancer Risk, Adv. Exp. Med. biol., 504:229-33.
  13. Groopman, J.D., 1993., Molecular Dosimetry Methods for Assessing Human Aflatoxin Exposures, dalam Eaton et al, The Toxicology of Aflatoxins: Human Health, Veterinary, and agricultural significance, Academic Press, London.
  14. Reddy, R.V., Taylor, M.J., Sharma, P.R., 1987, Studies of Immune Function of CD-1 Mice Exposed to Aflatoxin B sub(1), Toxicology, 43:123-32.
  15. Marin, D.E., Taranu, I., Bunaciu, R.P., 2002, Changes in Performance, Blood Parameters, Humoral and Cellular immune Responses in Weanling Piglets exposed to Low Doses of Aflatoxin, J. Anim. Sci., 80:1250-7.
  16. Theumer, M.G., Lopez, A.G., Masih, D.T., Chulze, S.N., Rubinstein, H.R., 2003, Immunological Effects of AFB1and AFB1-FB1 Mixture in Experimental Subchronic Mycotoxicosis in Rats, Toxicology, 186:159-70.
  17. Reddy, R.V., Rao P.V., Reddy, V.R., 1989, Effect of Aflatoxin in Performance of Broiler Chicks Fed Diets Supplemented with Vitamin A, Indian J. Anim. Sci., 59:140-4.
  18. Mocchegianni, E., Corradi, A., Santarelli, L., 2001, Zinc, Thymic Endocrine Activity and Mitogen Responsiveness (PHA) in Piglets Exposed to Maternal Aflatoxicosis B1 and G1, Vet. Immunol. Immunopathol., 62:245-60.
  19. Makarananda, K., Pengpan, U., Srisakulthong, M., Yoovathaworn, K., Sri-watanakul, K., 1998, Monitoring of Aflatoxin Exposure by Biomarkers, J. Toxicol. Sci., 23:155-9.
  20. Wild, C.P. dan Pisani P., 1998, Carcinogen DNA and Protein Adducts as Biomarkers of Human Exposure in Environmental Cancer Epidemiology, Cancer Detect. Prev., 22:273-83.
  21. Gong, Y.Y., Cardwell, K., Hounsa, A., Turner, P.C., Hall, A.J., Wild, C.P., 2002, Dietary Aflatoxin Exposure and Impaired Growth in Young Children from Benin and Togo: Cross Sectional Study, Br. Med. J., 325:20-1.
  22. Wang, J.S., Qian, G.S., Zarba, A., 1996, Temporal Patterns of Aflatoxin-albumin Adducts in Hepatitis B Surface Antigen-positif and Antigen-negatif Residents of Daxin, Qidong County, People’s Republic of China, Cancer Epidemiol. Biomarkers Prev., 5:253-61.
  23. Allen, S.J., Wild, C.P., Wheeler, J.G., 1992, Aflatoxin Exposure, Malaria, and Hepatitis B Infection in Rural Gambian Children, Trans. Rsoc. Trop. Hyg., 86:426-30.
  24. Diallo, M.S., Sylla, A., Sidibe, K., Sylla, B.S., Trepo, C.R., Wild, C.P., 1995, Pravalence of Exposure to Aflatoxin and Hepatitis B and C Viruses in Guinea, West Africa, Nat. Toxins, 3:6-9.
  25. Oyelami, O.A., Maxwell, S.M., Adelusola, K.A., Aladekoma, T.A., 1997, Aflatoxins in the Lungs of Children with Kwashirkor and Children with Miscellanneous in Nigeria, J. Toxicol. Environ. of Health., 51:623-8.
  26. Jonsyn-Ellis, F.E., 2001, Seasonal Variation in Exposure Frequency and Concentration Levels of Aflatoxins and Ochratoxins in Urine Samples of boys and Girls, Mycopathologia, 152:35-40.
  27. Hendrickse, R.G., Maxwell, S.M., 2001, Aflatoxins and Child Health in the Tropics, J. Toxicol. Toxin Rev., 8:31-41.
  28. Hollstein, M.C., Wild, C.P., Bleicher, F., 1993, P53 Mutations and Aflatoxin B1 Exposure in Hepatocellular Carcinoma Patients from Thailand, Int. J. Cancer, 53:51-5.
  29. El-Nezami, H.S., Nicoletti, G., Neal, G.E., Donahue, D.C., Ahokas, J.T., 1995, Afaltoxin M (sub)1 in Human Breast Milk Samples from Victoria, Australia and Thailand, Food Chem. Toxicol., 33:173-9.
  30. Badan Pusat Statistik (BPS), 2005, Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia 2005, Survey Sosial Ekonomi Nasional, Buku 1, BPS, Jakarta.
This entry was posted in Jurnal Gizi. Bookmark the permalink.

8 Responses to Risk Assessment Aflatoksin pada 10 Kecap Produksi Nasional; Studi Keamanan Pangan di Indonesia

  1. yudhistira31 says:

    Makasih infonya.

  2. dera says:

    salam buat ibu elza ya…
    masih anggun gak? he..he..

    o iya, bagus koq n ajarin ya tar klo aku jadi masuk gizi kesehatan

    thanks

  3. latief,DR says:

    Punya nggak tulisan mengenai pengendalian aflatoksin secara praktis untuk jagung. Tks. sebelumnya.

  4. rahmawati says:

    maaf pak, ngga punya 🙂

  5. ria says:

    trims infoiny

  6. prio says:

    saya kok jadi bingung dengan makalah anda, ada banyak kontroversi yang ada.
    1. dari mana anda mendapat batas deteksi aflatoksin sebesar 1,509ppb itu?
    2. anda menulis bahwa konsumsi kecap rata rata adalah 20ml perkapita perhari, tetapi pada perhitungan anda kok menjadi 140ml? dari mana angka tersebut? kalau konsumsi rata rata 140ml sehari, wah kayak minum sirup dong.
    3. rasanya pemerintah indonesia gak pernah tuh menyebut standard paparan aflatoksin 50ppm, coba anda lihat pada tabel anda, konsentrasi 1ppm saja sudah membuat akut pada manusia, apa gak salah tuh?
    pada tabel 2 disebutkan bahaya aflatoksin yang akut dan subkronik letal itu 1.000ppb atau setara 1ppm.
    4. menurut standard fao, ambang batas untuk aflatoksin adalah 50ppb bukan 50 ppm. apa anda tidak salah ketik?

    jurnal anda sebenarnya akan saya pakai untuk membuat makalah mengenai aflatoksin, tetapi setelah saya baca dan saya temukan kejanggalan2x diatas (menurut saya), saya jadi ragu untuk memakai jurnal anda.

    thanx

  7. dede juanda says:

    adanya aplatoksin pada produk kecap supaya dijelaskan dapat terjadi apa dari kacang kedelai dari ragi /kapang supaya produk dapat pertahankan keberadaannya.
    apakah bahaya dalam tubuh dapat terakumulasi berapa kadar , selain dari batasan diatas.

  8. nining says:

    makasih yaaahh infonyaaa,,,

Kasih komen dong